Kurangnya Animo Masyarakat Terhadap Pemilu 2014



    Pada bulan April 2014 masyarakat Indonesia akan merayakan pesta demokrasi. Dimana rakyat Indonesia akan memilih pemimpin – pemimpin baru. Diharapkan pemimpin selanjutnya dapat menuntaskan kinerja pemerintah saat ini yang belum maksimal. Dan bukan hanya sekedar janji – janji manis atau obral rencana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, pemilu 2014 dapat dijadikan momentum untuk memilih pemimpin yang berkomitmen kuat untuk menuntaskan permasalahan – permasalahan di bangsa ini.
      Namun tidak terlepas dari itu apakah seluruh masyarakat menyadari betapa pentingnya pemilu? Sedangkan jika kita Flasback di pemilu sebelumnya, banyak Warga Negara Indonesia yang di luar maupun dalam negeri mengurungkan niatnya untuk memilih pemimpin di negara mereka, negara kita. Sungguh ironis jika kita sedikit peka terhadap demokrasi di negara kita ini. Korupsi, Kolusi, Nipotisme hampir sudah menjadi hal biasa bagi sebagian orang. Apa mungkin karena hukum di Indonesia kurang Adil? Seperti contoh, hukuman seorang anak kecil yang hanya mencuri ayam atau sandal dipidana kurungan 4 tahun. Sedangkan koruptor yang korupsi hingga Milyaran Rupiah pun hanya dipidana beberapa tahun saja. Kurangnya sikap peduli antar setiap orang juga hampir telah hilang. Mungkin wajar saja bilamana rakyat Indonesia beranggapan bahwa “Pilih dia atau tidak yang penting saya masih bisa makan!” . Kalimat itu sering terdengar dikalangan menengah kebawah.
        Hampir di setiap Pemilu isu DPT (Daftar Pemilu Tetap) selalu hadir. Meski ini pemilu ke-4 di era reformasi, tak ada jaminan masalah DPT tak akan muncul lagi. Saya tertarik untuk membuka tentang Partisipasi Pemilu 2014. Dikatakan oleh komisioner KPU divisi sosialisasi, pendidikan pemilih dan pengembangan SDM, Sigit Pamungkas, dalam Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi penyelenggaraan informasi dan sosialisasi Tahapan Pemilu 2014 di Hotel Wangsa, Rabu(9/10) bahwa salah satu keberhasilan pemilu dapat dilihat dari tingkat partisipasi pemilihnya, di samping parameter – parameter lainnya seperti kemampuan mengelola konflik dan terpilihnya individu yang kredibel. Pemilihan umum jangan hanya dilihat sebagai  sebuah aktifitas administratif belaka, namun lebih menekankan pada makna substansinya. Pada konteks ini, pemilihan harus di desain agar dapat menjadi sebuah pesta rakyat yang menghibur. “Partisipasi pemilih menjadi mejadi instrumen penting dalam mengukur keberhasilan pemilu,” ungkap Sigit.
        Hal serupa juga disampaikan anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah. Menurutnya, target partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 sebesar 75 persen. “Target kita, partisipasi pemilih yang pada Pemilu 2009 mencapai 71% bisa meningkat menjadi 75% di Pemilu 2014 mendatang. Selain itu, upaya lain untuk mengatasi angka golput adalah dengan penguatan daftar pemilih,” ujar Ferry. Beberapa strategi peningkatan sosialisasi dan partisispasi yang dilakukan KPU, urai Sigit, diantaranya dengan melibatkan kelompok – kelompok strategis, seperti pemilih pemula, kaum beragama, perempuan, penyandang disabilitas dan kaum marginal. Mereka dapat menjadi pioneer dalam sosialisasi dan peningkatan partisipasi pemilih. Namun apakah penguatan daftar pemilih seperti melibatkan kelompok – kelompok strategis, seperti pemilih pemula, kaum beragama, perempuan, penyandang disabilitas dan kaum marginal itu bisa mendobrak angka persentase menjadi setidaknya terpaut diangka 75%. Sedangkan partisipasi pemilu di Indonesia ini selalu saja tak memenuhi harapan.
      Masyarakat Indonesia juga sempat dikagetkan oleh drama politik di senayan yang menolak penetapan atau pelantikan Ruhut Sitompul sebagai Ketua Komisi III di DPR RI. Hal memalukan tersebut tentu akan membuat Publik semakin bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Anggota fraksi yang tidak memahami aturan atau Ruhut Sitompul yang tidak layak menjadi seorang pemimpin?
     Dua variabel ini mengindikasikan lemahnya demokrasi di Indonesia. Ketidak akuran anggota dewan tersebut tentu menjadi sesuatu yang buruk bagi citra DPR di mata publik. Seharusnya masyarakat dicerdaskan dengan bukti-bukti nyata kinerja positif wakil rakyat. Bukan di suguhkan melalui opini-opini pembodohan politik karya wakil rakyat. Ditambah dengan meningkatnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para wakil rakyat tersebut, seperti, nonton film porno saat sidang, menjual agama untuk nikmat sesaat (kawin kontrak), hingga tindakan korupsi yang tiap tahun semakin meningkat. Hal ini tentu akan berdampak negatif pada pemahaman masyarakat terhadap kualitas kerja eksekutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia.
      Demikian sedikit informasi tentang kemungkinan kurangnya animo masyarakat terhadap pemilu 2014. Kini menjadi tugas bersama bangsa ini agar kita bersama-sama menyukseskan pemilu yang masih tersisa sekitar beberapa bulan lagi. Sebuah pemerintahan akan kuat apabila pemerintah tersebut dipilih murni oleh mayoritas rakyat dan bukan dimenangkan oleh pemilih semu yang bisa tercipta ataupun diciptakan. "Memilih adalah Hak dan bukan kewajiban." Relakah kita memberikan hak kita kepada orang lain? Kalau dibiarkan maka akan banyak yang rela dengan kecuekannya, dan resikonya pemerintah pemenang pemilu selama lima tahun memerintah akan terus dirongrong dan tidak mempunyai kewibawaan.

Sumber : www.kpu.go.id
m.detik.com

3 komentar:

Irma Yanti mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Julka Hendri mengatakan...

Semoga tidak jadi ajang janji palsu

Unknown mengatakan...

www.kainendek.com

Posting Komentar

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.